Selasa, 01 November 2011

IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)

Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata spritiual dan material berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karenanya, adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk berdarma bakti sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

Sejalan dengan itu, pengembangan profesi akuntan ditujukan untuk meningkatkan pengabdian profesi dalam Pembangunan Nasional, yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Para akuntan menyadari perlunya dukungan secara sistematis dan tertib demi pemeliharaan serta peningkatan kompetensi profesionalnya, maka merasa perlu untuk dibina, dibimbing, difasilitasi, dan diingatkan secara profesional.

Dalam rangka pembinaan tersebut, perlu adanya wadah yang mewakili akuntan secara keseluruhan, menetapkan standar kualitas, mengembangkan dan menegakkan etika profesi, memelihara martabat dan kehormatan, membina moral dan integritas yang tinggi, mewujudkan kepercayaan atas hasil kerja profesi akuntan dan wadah komunikasi, konsultasi, koordinasi serta usaha-usaha bersama lainnya yang diperlukan. Menyadari akan hal tersebut maka para akuntan bergabung dalam wadah organisasi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia.

Pada waktu Indonesia merdeka, hanya ada satu orang akuntan pribumi, yaitu Prof. Dr. Abutari, sedangkan Prof. Soemardjo lulus pendidikan akuntan di negeri Belanda pada tahun 1956.

Akuntan-akuntan Indonesia pertama lulusan dalam negeri adalah Basuki Siddharta, Hendra Darmawan, Tan Tong Djoe, dan Go Tie Siem, mereka lulus pertengahan tahun 1957. Keempat akuntan ini bersama dengan Prof. Soemardjo mengambil prakarsa mendirikan perkumpulan akuntan untuk bangsa Indonesia saja. Alasannya, mereka tidak mungkin menjadi anggota NIVA (Nederlands Institute Van Accountants) atau VAGA (Vereniging Academisch Gevormde Accountants). Mereka menyadari keindonesiaannya dan berpendapat tidak mungkin kedua lembaga itu akan memikirkan perkembangan dan pembinaan akuntan Indonesia.

Hari Kamis, 17 Oktober 1957, kelima akuntan tadi mengadakan pertemuan di aula Universitas Indonesia (UI) dan bersepakat untuk mendirikan perkumpulan akuntan Indonesia. Karena pertemuan tersebut tidak dihadiri oleh semua akuntan yang ada maka diputuskan membentuk Panitia Persiapan Pendirian Perkumpulan Akuntan Indonesia. Panitia diminta menghubungi akuntan lainnya untuk menanyakan pendapat mereka. Dalam Panitia itu Prof. Soemardjo duduk sebagai ketua, Go Tie Siem sebagai penulis, Basuki Siddharta sebagai bendahara sedangkan Hendra Darmawan dan Tan Tong Djoe sebagai komisaris. Surat yang dikirimkan Panitia kepada 6 akuntan lainnya memperoleh jawaban setuju.

Perkumpulan yang akhirnya diberi nama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) akhirnya berdiri pada 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30.

Susunan pengurus pertama terdiri dari:

Ketua

Prof. Dr. Soemardjo Tjitrosidojo

Panitera

Drs. Mr. Go Tie Siem

Bendahara

Drs. Sie Bing Tat (Basuki Siddharta)

Komisaris

Dr. Tan Tong Djoe


Drs. Oey Kwie Tek (Hendra Darmawan)

Keenam akuntan lainnya sebagai pendiri IAI adalah

  1. Prof. Dr. Abutari
  2. Tio Po Tjiang
  3. Tan Eng Oen
  4. Tang Siu Tjhan
  5. Liem Kwie Liang
  6. The Tik Him

Konsep Anggaran Dasar IAI yang pertama diselesaikan pada 15 Mei 1958 dan naskah finalnya selesai pada 19 Oktober 1958. Menteri Kehakiman mengesahkannya pada 11 Pebruari 1959. Namun demikian, tanggal pendirian IAI ditetapkan pada 23 Desember 1957. Ketika itu, tujuan IAI adalah:

  1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan.
  2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan.

Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Hal ini merupakan perkembangan yang wajar karena profesi akuntan tidak dapat dipisahkan dari dunia usaha yang mengalami perkembangan pesat. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.

Misi

  • memelihara integritas, komitmen, dan kompetensi anggota dalam pengembangan manajemen bisnis dan publik yang berorientasi pada etika, tanggungjawab, dan lingkungan hidup;

  • mengembangkan pengetahuan dan praktek bisnis, keuangan, atestasi, non-atestasi, dan akuntansi bagi masyarakat; dan

  • berpartisipasi aktif di dalam mewujudkan good governance melalui upaya organisasi yang sah dan dalam perspektif nasional dan internasional.

Visi

Visi IAI adalah menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup dalam perspektif nasional dan internasional.

Kaisar Hirohito (Tokoh Pemimpin Militeristik)

Pada samudra yang mengelilingi keempat penjuru dunia Tiap manusia adalah bersaudara Mengapa menganginkan dan mengairi perang Mengganggu pardamaian diantara kita”

IA adalah kaiser yang dicintai rakyat ini sebagai manusia “setengah” dewa. Atau dewa yang turun ke bumi. Namun tidak urung ada yang sangat tidak menyukainya. Sebuah koran kuning di Inggris The Sun dan The Star dalam salah satu tulisannya secara terang-terangan menyatakan dendam kepada Sang Kaisar Dan koran itu menganggap kesalahan terbesar yang dilakukan Kaisar Hirohito adalah tidak mencegah militerisme Jepang dalam Perang Dunia II. Padahal ia bisa melakukan hal itu hanya dengan satu lambaian tangan. “Bukankan ia bagaikan Tuhan di mata rakyatnya?” tanya The Sun. Sedang The Star menyamakan Hirohito dengan Adolf Hitler. Militerisme Jepang yang kemudian berambisi menggelar jajahan memang sangat menyakitkan rakyat di banyak negara Asia. Rakyat Indonesia termasuk korban yang cukup parah dalam ambis Jepang tersebut. Banyak kalangan kemudian berpendapat, Kaisar Hirohito harus ikut bertanggung jawab atasr semua ironi itu. Namun orang juga mengakui bahwa Hirohito telah melakukan hal, yang terpuji pada saat Jepang berada di ambang kekalahan, menjelang akhir Perang Dunia II. Barangkali jika Kaisar diam saja, Jepang dan rakyatnya akan hancur. Saat itu pertengahan tahun 1945. Kabinet Jepang dan para petinggi militer bersikeras untuk tidak menyerah, walau sudah berkali-kali mendapat ultimatum Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka tetap bersikukuh untuk melanjutkan perang sampai titik darah penghabisan. Presiden AS Truman dan PM Inggris Churchill terus mengeluarkan ultimatum agar Jepang menyerah. Namun PM Jepang Suzuki menolak. Tentu saja Amerika marah dan kemudian “menghukum” Jepang dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima, 6 Agustus 1945. Seluruh kota menjadi luluh-lantak. Tiga hari kemudian bom dijatuhkan di Nagasaki yang membuat kota itu berantakan. Pada 9 Agustus itu juga Kabinet Jepang bersidang untuk mengambil sikap berkaitan dengan pemboman tersebut. Hasilnya tidak ada kata menyerah dan Jepang tetap akan melanjutkan perang.

Kaisar Hirohito melihat jika kabinet tetap bersikeras tidak mau menyerah, seluruh Jepang akan hancur akibat perang. Sang Kaisar melihat betapa menderitanya rakyat Jepang. Dan mereka akan lebih menderita lagi jika Jepang tetap melanjutkan perang pada saat kekalahan sudah di ambang pintu. Kaisar kemudian mengambil oper persoalan yang dihadapi Jepang. Hirohito yang sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan penting tanpa persetujuan Kabinet, nekad mengumumkan penghentian perang. Kalau ingin rakyat selamat, maka perang harus dihentikan. Itu kata hati Kaisar. Secara dramatis ternyata keputusan Kaisar itu dipatuhi para prajurit dan rakyat. Pada waktu itu mayoritas rakyat Jepang sesungguhnya sudah jijik terhadap perang yang dilakukan oleh tentara mereka. Banyak prajurit kemudian mengambil jalan lain, melakukan harakiri demi kehormatan pribadi, negara, dan raja. Dengan sekuat tenaga Kaisar berusaha menghentikan gelombang bunuh diri itu. Rakyat melihat apa yang dilakukan Kaisar merupakan sikap dan tindakan mulia.
Banyak sejarawan berpendapat sesungguhnya Hirohito tidak menyukai perang. Hanya saya Kaisar tidak mempunyai kekuasaan atas militer. Maka terjadilah petualangan bala tentara Jepang yang kemudian berakhir dengan tragis itu. Ketika para pemimpin militer menghadap pada 1941, untuk memutuskan apakah Jepang ikut terjun atau tidak di kancah perang, Kaisar tidak memberikan jawaban secara jelas. Ia menjawab dengan bait-bait puisi seperti yang dikutip pada awal tulisan ini. Tentu tidak mudah memaknai puisi tersebut. Namun beberapa ahli sejarah berpendapat hal itu dilakukan Kaisar karena ia merasa tidak punya kekuatan untuk melarang apa yang akan dilakukan pemerintah. Kaisar memang tidak terjun di arena politik. Pada masa itu ia sudah menyerahkan urusan politik negara kepada para pembantu dekatnya. Sedang ia sendiri lebih suka berperan sebagai pemimpin tertinggi agama Shinto, Arahitogami. Para pembantu dekat itulah yang membawa Jepang ke kancah perang. Namun di luar negeri ada anggapan, Kaisar sebagai orang pertama yang harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Seperti yang ditulis The Sun dart The Star, dua koran Inggris itu.
Hirohito lahir 29 April 1901 di Tokyo, tepatnya di Istana Aoyama. Ia tercatat sebagai kaisar ke-124 selama lebih dari 2 ribu tahun sejarah kekaisaran Jepang. Orangtuanya Kaisar Taisho dan Permaisuri Sadako. Usia 3 tahun ia harus dipisahkan dengan kedua orangtuanya dan diasuh oleh keluarga Suniiyoshi Kawamura. Sebagai calon kaisar. Hirohito mendapat pendidikan secara keras. Ia sekolah di Gakushuin, sekolah khusus untuk para bangsawan. Untuk menggembleng jasmani ia berlatih di Bushido. Hirohito diangkat menjadi putera mahkota tahun 1916 dan 1926 dinobatkan menjadi kaisar. Setelah Jepang kalah perang. Hirohito nyaris diadili karena dituduh telah mengobarkan perang. Tapi Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Jepang, Jenderal McArthur, menyelamatkannya dengan menolak usul beberapa pihak yang tergabung di klaim Sekutu agar Kaisar diadili. Kemudian lahirlah Konstitusi 1947 yang mengatakan bahwa Hirohito tidak lagi punya kekuasan atas politik di Jepang. Ia lebih sebagai simbol pemersatu Jepang. Dalam Konstitusi tersebut juga dinyatakan Kaisar sebagai lambang negara dan lambang persatuan rakyat, yang memperoleh kedudukannya dari kehendak rakyat. Fungsi Kaisar dilukiskan semata-mata lambang. Dan dengan jelas dinyatakan bahwa Kaisar “tidak akan memiliki kekuasaan yang berhubungan dengan pemerintahan”. Supaya persoalan jadi lebih jelas Konstitusi menambahkan bahwa “nasihat dan persetujuan Kabinat harus diminta untuk semua tindakan Kaisar dalam soal-soal negara, dan Kabinat harus bertanggung jawab karena hal itu.”
Jepang sebagai negara yang kalah perang memiliki rakyat yang suka berkelompok dan bekerja keras. Tidak terlalu lama setelah dihancurkan Sekutu, mereka bangkit dan beberapa tahun kemudian menjadi negara maju dan kaya. Jepang termasuk salah satu negara di dunia yang tergabung dalam G-10, yakni sepuluh negara terkaya di dunia. Jepang juga termasuk negara yang banyak membantu negara lain. Banyak orang menduga, Jepang cepat maju karena mereka tahu apa artinya penderitaan. Padahal setelah perang berakhir, rakyat Jepang benar-benar menderita. Mereka harus kuat menahan lapar dan dingin. Dalam tahun-tahun awal sesudah perang, ketika pangan amat sangat kurang dan ekonomi bisa dibilang lumpuh, rakyat yang kelaparan mencoba menanam apa saja di antara reruntuhan kota dan di mana pun tanah bisa ditanami. Mereka mencoba tetap kuat dan terus bertahan, dan ternyata mereka kuat.

Sehubungan dengan militerisme Jepang yang dahsyat, orang luar boleh saja kecewa terhadap Hirohito, namun di dalam negeri ia tetaplah manusia yang amat dicintai rakyatnya. Hal itu tampak sekali ketika Kaisar sakit pada bulan Oktober 1988. Setiap hari tidak terhitung orang dari pelosok negeri, tanpa menghiraukan cuaca dingin dan hujan lebat, datang untuk memanjatkan doa di depan Istana demi kesembuhannya. Dan hal itu juga dilakukan generasi muda Jepang yang sebelumnya dianggap sebagai golongan yang tidak mau peduli kepada Kaisar dan keluarga istana. Fenomena itu cukup mengejutkan. Kaisar Hirohito meninggal pada usia 87 tahun. Pada saat meninggalnya seluruh Jepang berduka, tidak peduli siapa mereka. Apakah mereka anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Semuanya menangisi kepergian “Sang Dewa”.
Selain menulis puisi Hirohito juga mempunyai kegemaran tenis, berenang, main ski, menonton drama televisi dan pertandingan sumo. Tentang kesukaannya menulis puisi, Hirohito tidak diragukan lagi. Bahkan ia sering menjawab pertanyaan dengan bait-bait puisi yang bisa menimbulkan berbagai interpretasi.

Pustaka
50 Tokoh Politik Legendaris Dunia Oleh Achmad Munif

Mengelola Konflik Organisasi (Part 5)

e. Struktur pihak-pihak yang terlibat

Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak mempunyai seorang pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan pengikutnya untuk menerima dan melaksanakan kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, sub sub kelompok serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua kesepakatan akan melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati oleh pemimpin mereka, dan karena itu, konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja yang dipimpiin oleh pemimpin yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan, tetapi begitu kesepakatan dicapai, hasiil perundingan tersebut dihormati oleh anggota serikat pekerja. Jika serikat pekerja yang dipimpiin oleh pemimpin yang lemah terlibat dalam konflik, hasil yang telah disepakati akan rusak oleh orang orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin tidak menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.

Mengelola Konflik Organisasi (Part 4)

c. Saling kebergantungan pihak-pihak yang terlibat

Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik dapat memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian saling kebergantungan “berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling kebergantungan berjumlah nol adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses interaksi, hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Seling kebergantungan bernilai positif jika kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah pihak melalui kerja sama dan pemecahan masalah. Jika hal ini terjadi, kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan bagaimana mereka dapat saling memperoleh menfaat dari suatu situasi.

d. Kontinuitas interaksi

Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan waktu yang semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu sama lain. Jikia mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus menerus , konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaiknya, jika transaksi dipandangan sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodik, konflik tersebut akan sulit dipecahkan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti disini saja, atau pada saat konflik terjadi, akan ada hubungan lain yang terus menerus pada masa yang akan datang.

Mengelola Konflik Organisasi (Part 3)

a. Masalah-masalah yang dipertanyakan

Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah prinsip, konflik sulit dipecahkan karena mengorbankan prinsip dipandang sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang pihak lain salah. Jika hal ini terjadi, bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah meminta semua pihak untuk mengakui bahwa mereka saling memahami pandangan masing-masing walaupun masih percaya dengan pandangan sendiri. Cara seperti ini lebih memungkinkan semua pihak untuk maju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada posisi masing masing.

b. Ukuran taruhan

Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer diangga membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subjektif akan memandang taruhannya cukup tinggi karena itu akan berusaha mati-matian menentang proses akuisisi tersebut. Dalam kasus ini, pendekatan persuasif dengan cara menunda penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosional, sangat baik untuk dilakukan. Selama masa penundaan tersebut, masing-masing pihak dapat mengevaluasi kembaku masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba objektif dalam penilaian mereka.

Mengelola Konflik Organisasi (Part 2)

Berikut ini disajikan beberapa model teoretis dalam mengelola konflik yang dikemukakan oleh para ahli manajemen dan perilaku organisasi.

1. Model diagnosis konflik pandangan kontinum dari Leonard Greenhalgh

Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu fenomena y ang objektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Oleh karena itu, untuk menangani konflik, seseorang harus bersikap emati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yan dilihat oleh para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.

Tabel 14.3 Model Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum

Dimensi

Sulit dipecahkan

Mudah dipecahkan

Masalah yang menjadi pertanyaan.

Masalah prinsip

Masalah yang dapat dibagi-bagi

Ukuran taruhan

Besar

Kecil

Saling kebergantungan antara pihak pihak yang terlibat

Berjumlah nol

Berjumlah positif

Kontinuitas interaksi

Transaksi tunggal

Hubungan jangka panjang

Struktur pihak-pihak yang terlibat

Tak berbentuk atau terpecah-pecah, dengan kepemimpinan yang lemah

Terpadu, dengan kepemimpinan yang kuat

Keterlibatan pihak ketiga

Tidak ada pihak ketiga yang netral

Dipercaya, kuat, dihormati, dan netral

Kemajuan konflik yang dipandang

Tidak seimbang satu pihak merasa lebih dirugikan

Pihak-pihak saling dirugikan satu sama lain